Mengunjungi daerah yang jauh dan asing merupakan sebuah keasyikan tersendiri, sensasinya adalah ketika kita merasa sendiri, survival, dan berusaha untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Demikianlah perjalananku ini untuk menemukan sensasi itu seteah merasa penat dengan siklus pergaulan di Malang.

Ada banyak tempat yang takkan pernah terhalang oleh pagar pembatas untuk para pendatang baru. Dan jujur kusampaikan bahwa masjid adalah shelter paling aman sekaligus murah meriah. Dia menjadi tempat yang menyambut para tamunya dengan tangan terbuka, bahkan di malam yang telah dalam sekalipun.

Masjid pun kemudian membuktikan fungsinya yang beragam (multifungsional). Di jaman Nabi Muhammad, masjidlah “alun-alun” agama islam dimana segala aktifitas terjadi di dalamnya, tidak sekadar beribadah. Dan untuk kali ini, masjid adalah shelter yang menjadi pilihan terbaik bagi perantau yang belum memiliki tempat singgah sementara. Paling tidak untuk sehari. Di masjid pula, erbagai informasi dapat dikoreksi, meyangkut kultur sosial, menyangkut informasi “sipil” dan sebagainya.

Sepulang dari pendakian gunung Ciremai, Cirebon, Jawa Barat. Kutumpangi Elf yang menuju terminal dan menggunakan jasa ojek menuju stasiun. Karena kemalaman, kereta yang harusnya mengantarku pulang ke Malang atau paling tidak ke Surabaya telah meninggalkan stasiun. Seorang diri kupikirkan rencana selanjutnya menghabiskan malamku ini, termasuk bagaimana aku bisa beristirahat dengan aman, apalagi aku sedang dalam kondisi kelelahan malam itu. Maka berkelilinglah aku di sekitar stasiun sembari mencari makan malam, perhatianku tidak lepas dari pucuk-pucuk rumah yang kulewati, akankah ada kuba masjid yang bisa menaungiku.

Spontan saja kupikirkan masjid waktu itu, dan demikian kebiasaanku jika aku mengalami kejadian seperti ini, bingung akan kemana mencari “tumpangan atap”. Setelah bertanya pada penjaja makanan kaki lima malam itu, dia menunjukkanku arah menuju sebuah masjid. Kuikuti sarannya hingga tibalah kakiku di masjid tersebut.

Bukan hanya aku yang mencari perlindungan aman di masjid itu, beberapa tukang becak memarkir becaknya di halaman masjid yang berpagar. Tukang becak itu sendiri mengginakan bagian teras masjid sebagai tempat tidur mereka, dengan menggunakan tikar yang telah mereka persiapkan. Selanjutnya, kupersiapkan tempatku untuk beristirahat.

Beberapa saat sebelum tertidur, para tukang becak yang “nginap” di masjid malam ini sungguh kasihan. Dimana rumah mereka? Jauh di sebuah kampung?. Maka beruntunglah ada masjid yang menyediakan jasa numpang mimpi, tanpa berharap imbalan.

Aku mendramatisir pikiranku dengan memikirkan bagaimana jika masjid menjadi bangunan yang “tertutup”, dipergunakan oleh segolongan tertentu dengan beberapa aturan yang mempersempit fungsinya, akankah orang-orang sepertiku tertolong, apalagi para tukang becak ini?.

Parahnya, pikiranku sampai pada kritik reflektif yang menusuk diriku, seberapa setiakah diriku hadir di masjid untuk memakmurkannya? Termasuk banyak orang selain diriku tentunya. Sehingga kehadiranku di masjid hanyalah untuk beristirahat bersama ribuan mimpi yang antah berantah. Masjid tak pernah meminta imbalan atas jasanya memfasilitasi kebutuhan ummat, malah memberikan pesangon atas aktifitas kita di tempat ini.