Oleh: Cheng Prudjung

Aku rindu pada masakan bunda, walaupun kurang enak di lidah, tetapi sangat enak luar biasa di hati. Bukan nasi dan lauk pauknya yang menjadikan makanan terasa enak, melainkan suasana dan sensasinya. Hingga sekarang, aku betul-betul merasa rindu masakan bunda, walaupun jauh hari setelah ribuan kali kunikmati masakannya, perasaan ini hadir.

Sepiring nasi dan sepotong ikan bandeng yang digoreng hingga kering dan terasa renyah, ditambah dengan air garam sebagai perasa daging ikan bandeng itu. Itu saja, makanan yang sangat sederhana dan bisa ditemui di warung makan mana saja, namun aku tetap merindukan masakan bunda.

Perasaan rindu ini sebenarnya muncul ketika mataku bertatapan dengan mata ikan bandeng yang telah mampus dan menghiasi etalase makanan di warung makan sebelah kos. Aku hendak mencicipinya sambil membayangkan makanan bunda di rumah, nasi dengan lauk ikan bandeng dan sayur kacang panjang dengan kuah bening yang dimasak dengan beberapa asam sehingga rasanya betul-betul nikmat. Sayur yang terasa kecut di tengah siang yang panas.

Hingga tulisan ini kutuliskan, kerinduan itu terus menjadi-jadi. Perutku semakin lapar, dan aku tersiksa karena uang tidak ada, hanya berusaha bersabar menunggu teman yang datang dan mengajak ke warung nasi, paling tidak sekadar ngopi.

Entah bagaimana zat rindu mengaduk perutku sehingga mataku yang menatap menu makanan yang terpajang di etalase warung nasi sebelah kos, terlihat seakan-akan masakan bunda, dan ini efek yang terlalu berlebihan, entah karena saking laparnya, atau saking rindunya. Tapi paling tidak, kusampaikan dengan jujur bahwa ini tidak lebih dari dramatisasi peristiwa dalam tulisan.

Tapi, rindu terhadap masakan bunda adalah perasaan umum, selalu ada kerinduan untuk hal semacam ini. Rindu itu meliputi masakan, suasana dapur, perasaan ketikan makan malam bersama dengan semua keluarga, perbincangan di meja makan atau bahkan kasih sayang bunda dan kerja keras ayah yang kemudian mewujud menjadi masakan. Makanan yang penuh dengan keberkahan.

Sedikit menyimpang dari permasalahan rindu ini, rasa lapar, makanan, dan kondisi perut, mempengaruhi kondisi tubuh secara umum, fisik maupun psikologis. Contoh yang paling parah untuk kasus ini adalah kejadian seperti meninggal akibat kelaparan, mencuri atau membunuh untuk memenuhi kebutuhan perut dan segala macam yang masuk dalam kategori “Urusan Perut”.

Dan masakan bunda mudah-mudahan bisa menjadi obat dari perilaku yang negatif akibat pengaruh perut atau rasa lapar. Masakan bunda dari rejeki yang halal, berasal dari kerja keras dan proses pengolahan makanan yang penuh dengan kucuran kasih sayang. Seorang bunda tidak pernah menganjurkan makan yang banyak untuk cepat besar dan merasa kuasa dari anak-anak yang lain sehingga mereka dapat dijajah.

Masakan bunda, bagaimana pun tidak enaknya dibandingkan makanan di restoran kelas “Planet”, adalah makanan paling dirindukan, dan harusnya begitu. Masakan restoran hanya memberikan kenikmatan sensasi yang bergantung pada keadaan, seperti dengan siapa kita menunaikan makan malam, di restoran mana dan dengan penyajian bagaimana?.

Maka, dimanapun kita berada, hadirkan niat untuk pulang kampung dengan tujuan sesuap nasi dari bunda. Sesuap nasi putih dan secabik ikan bandeng dengan mangga rica-rica. Betapa pun miskinnya kita, meja makan tua dan segelas air minum dalam gelas berwarna kuning yang harusnya berwarna bening, akan melupakan kita pada keadaan bahwa kita orang miskin. Harusnya memang seperti ini.